Beranda | Artikel
Mutiara Faidah Surat al-Fatihah
Kamis, 6 Oktober 2016

Surat ini disebut al-Fatihah (pembuka) karena ia menjadi pembuka tulisan ayat-ayat al-Qur’an. Demikian pula ia menjadi pembuka bacaan di dalam sholat. al-Fatihah juga disebut dengan Ummul Kitab (induk al-Qur’an) sebagaimana pendapat jumhur/mayoritas ulama. Disebutkan dalam hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “alhamdulillah (surat al-Fatihah) adalah induk al-Qur’an, as-Sab’ul Matsaani (tujuh ayat yang diulang-ulang) dan al-Qur’an al-‘Azhim (bacaan yang agung).” (HR. Tirmidzi dan beliau mensahihkannya, Syaikh al-Albani pun mensahihkan hadits ini) (lihat Tafsir Ibnu Katsir, 1/101, Sahih Sunan Tirmidzi no. 3124)

al-Fatihah dinamakan dengan Ummul Qur’an (induk al-Qur’an) disebabkan makna-makna ajaran al-Qur’an semuanya berporos pada apa-apa yang tertuang di dalam surat ini (lihat keterangan Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah dalam al-Jami’ al-Mufid fi Fawa’id Surah al-Fatihah, hal. 9). Semua ajaran al-Qur’an yang meliputi ilmu tauhid, penetapan hari kiamat dan kebangkitan serta alam akhirat, aturan hukum/syari’at, kisah-kisah dan berita tentang umat terdahulu, surga dan neraka; ini semuanya telah dirangkum pokok-pokoknya di dalam surat al-Fatihah (lihat keterangan Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah dalam Tafsir Surah al-Fatihah, hal. 11-13)

Karena itulah al-Fatihah menjadi surat yang paling agung di dalam al-Qur’an. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan al-Bukhari, Ahmad, Abu Dawud dan an-Nasa’i dari Abu Sa’id bin al-Mu’alla radhiyallahu’anhu. Beliau berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya tadi anda mengatakan ‘Akan kuajarkan kepadamu sebuah surat paling agung di dalam al-Qur’an’?.” Beliau menjawab, “Benar. Surat itu adalah Alhamdulillahi Rabbil ‘alamin -surat al-Fatihah- itu pula yang disebut as-Sab’ul Matsani dan al-Qur’an al-‘Azhim yang diberikan kepadaku.” (lihat Fat-hul Qadir karya Imam asy-Syaukani rahimahullah, hal. 13)

Diantara kandungan paling agung di dalam surat al-Fatihah ini adalah pelajaran tentang wajibnya mentauhidkan Allah. Sebagaimana dijelaskan para ulama bahwa tauhid mencakup tiga macam; tauhid rububiyah, tauhid asma’ wa shifat, dan tauhid uluhiyah. Tauhid rububiyah adalah mengesakan Allah dalam hal perbuatan-perbuatan-Nya seperti mencipta, memberikan rezki, menghidupkan, mematikan, dsb. Tauhid rububiyah terkandung dalam ayat (yang artinya), “Segala puji bagi Allah Rabb seru sekalian alam.” Di dalam kata ‘rabb’ terkandung penetapan tauhid rububiyah (lihat Kutub wa Rasa’il ‘Abdil Muhsin, 1/149-150)

Adapun tauhid uluhiyah maksudnya adalah mengesakan Allah dengan perbuatan-perbuatan hamba seperti dalam hal doa, takut, harap, tawakal, isti’anah (meminta pertolongan), istighotsah (meminta keselamatan), menyembelih, dsb. Oleh sebab itu wajib memurnikan segala ibadah untuk Allah semata dan tidak mempersekutukan dengan-Nya sesuatu apapun. Sebagaimana Allah satu-satunya pencipta dan pemberi rezki maka Allah pula satu-satunya yang berhak diibadahi. Tauhid uluhiyah ini termuat dalam ayat (yang artinya), “Hanya kepada-Mu kami beribadah, dan hanya kepada-Mu kami meminta pertolongan.” (lihat Kutub wa Rasa’il ‘Abdil Muhsin, 1/149 dan 151)

Tauhid asma’ wa shifat artinya mengesakan Allah dalam hal nama-nama dan sifat-sifat-Nya dengan menetapkan nama dan sifat Allah sebagaimana yang ditetapkan oleh Allah di dalam al-Qur’an atau disebutkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam hadits. Kita wajib mengimaninya tanpa  menyelewengkan (tahrif), tanpa mengubah (ta’wil), tanpa menolak (ta’thil), dan tanpa mereka-reka bentuknya (takyif), tanpa menyerupakan (tasybih), tanpa menyamakan sifat Allah dengan sifat makhluk (tamtsil). Allah berfirman (yang artinya), “Tidak ada yang serupa dengan-Nya sesuatu apapun, dan Dia Maha mendengar lagi Maha melihat.” (asy-Syura : 11). Tauhid asma’ wa shifat ini terkandung dalam ‘alhamdulillahi Rabbil ‘alamin’ karena di dalamnya disebutkan dua nama Allah, yaitu ‘Allah’ dan ‘Rabb’. Selain itu di dalam ‘ar-rahmanir rahiim’ juga terkandung penetapan sifat rahmat/kasih sayang pada diri Allah dan di sini disebutkan dua nama Allah yaitu ar-Rahman dan ar-Rahim (lihat Kutub wa Rasa’il ‘Abdil Muhsin, 1/149-151)

Pembagian tauhid menjadi tiga ini bisa diketahui melalui istiqra’/penelitian dan pengkajian terhadap dalil-dalil al-Qur’an dan as-Sunnah. Kaitan antara ketiga macam tauhid ini adalah bahwasanya tauhid rububiyah dan asma’ wa shifat melazimkan atau menuntut diwujudkannya tauhid uluhiyah. Adapun tauhid uluhiyah secara otomatis mengandung kedua macam tauhid yang lainnya. Sebab orang yang telah mengakui uluhiyah Allah tentu tidak akan menolak tauhid rububiyah dan asma’ wa shifat Allah. Dan barangsiapa yang telah mengakui keesaan Allah dalam hal rububiyah maka dia wajib untuk mengesakan Allah dalam hal beribadah. Adapun mengakui tauhid rububiyah semata dan tidak mentauhidkan Allah dalam hal ibadah maka hal ini belum bisa memasukkan pelakunya ke dalam agama Islam sebagaimana keadaan orang-orang kafir yang diperangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (lihat Kutub wa Rasa’il ‘Abdil Muhsin, 3/28-31)

Tauhid Rububiyah Saja Tidak Cukup

Di dalam al-Qur’an Allah menceritakan keadaan kaum musyrik di masa turunnya wahyu bahwasanya mereka telah mengakui tauhid rububiyah. Meskipun demikian pengakuan dan keyakinan mereka ini belum bisa menyelamatkan mereka. Hal itu tidak lain disebabkan mereka masih melakukan syirik dalam hal ibadah. Dengan kata lain mereka belum mewujudkan tauhid uluhiyah. Diantaranya, Allah berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah beriman kepada Allah kebanyakan mereka itu kecuali dalam keadaan musyrik.” (Yusuf : 106). Ibnu ‘Abbas menjelaskan bahwa diantara bentuk keimanan mereka itu adalah apabila ditanya siapa yang menciptakan langit, siapa yang menciptakan bumi, dan siapa yang menciptakan gunung-gunung mereka menjawab ‘Allah’ namun mereka tetap dalam keadaan musyrik. Penafsiran serupa juga disebutkan oleh Ikrimah dan Mujahid (lihat keterangan Syaikh Abdurrazzaq al-Badr hafizhahullah dalam risalah al-Mukhtashar al-Mufid, dalam al-Jami’ lil Buhuts wa ar-Rasa’il, hal. 12-13)

Dalam ayat lain misalnya Allah berfirman (yang artinya), “Maka janganlah kalian menjadikan bagi Allah sekutu-sekutu dalam keadaan kalian mengetahui.” (al-Baqarah : 22). Maksud ayat ini adalah larangan beribadah kepada selain Allah di samping ibadah kepada Allah karena kalian telah mengetahui bahwasanya Allah lah satu-satunya pencipta dan pemberi rezki kepada kalian. Penafsiran semacam ini dinukil dari Ibnu ‘Abbas dan Qatadah (lihat al-Jamil lil Buhuts wa Rasa’il karya Syaikh Abdurrazzaq al-Badr hafizhahullah, hal. 13)

Karena itulah di dalam risalahnya yang sangat masyhur al-Qawa’id al-Arba’ -empat kaidah dalam memahami tauhid- Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah menyebutkan kaidah pertama yang isinya menetapkan bahwasanya orang-orang kafir yang diperangi oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengakui bahwa Allah lah satu-satunya pencipta, pemberi rezki dan pengatur segala urusan, meskipun demikian hal itu belum bisa memasukkan mereka ke dalam agama Islam. Sebabnya adalah karena mereka mengingkari tauhid uluhiyah. Dimana mereka beribadah kepada Allah tetapi juga kepada selain-Nya. Hal ini menunjukkan bahwa untuk masuk Islam harus mengakui tauhid uluhiyah -sebagaimana yang terkandung dalam kalimat tauhid laa ilaha illallah– tidak cukup dengan bermodal tauhid rububiyah saja (lihat keterangan Syaikh Abdul Aziz ar-Rajihi hafizhahullah dalam Syarh al-Qawa’id al-Arba’, hal. 18-19)

Dari sinilah kita bisa mengetahui kekeliruan sebagian orang -bahkan yang dianggap sebagai ahli agama sekali pun- yang menafsirkan kalimat laa ilaha illallah dengan makna tauhid rububiyah. Mereka mengatakan bahwa makna kalimat tauhid ini adalah ‘tidak ada pencipta selain Allah’ atau ‘tidak ada yang kuasa mencipta selain Allah’. Ini adalah kesalahan yang sangat fatal. Padahal sesungguhnya maksud dan makna dari kalimat tauhid itu adalah untuk mewujudkan tauhid uluhiyah. Ini artinya orang-orang yang memahami kalimat tauhid dengan mencukupkan diri pada tauhid rububiyah itu sebenarnya tidak lebih bagus aqidahnya daripada kaum musyrikin jaman dulu karena mereka pun sudah mengakui hal itu (lihat keterangan Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah dalam Syarh Tafsir Kalimah at-Tauhid, Silsilah Syarh Rasa’il, hal. 143-144)

Oleh sebab itu di dalam mukadimah kedua dari kitab Tsalatsatul Ushul-nya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah menyampaikan pada poin kedua diantara tiga kewajiban yang harus dipelajari dan diamalkan setiap muslim. Di sana Syaikh menyatakan bahwasanya Allah tidaklah ridha apabila dipersekutukan bersama-Nya dalam hal ibadah dengan sesuatu apapun, apakah itu berupa malaikat yang dekat dengan Allah ataupun nabi yang diutus. Dalilnya adalah firman Allah (yang artinya), “Maka janganlah kalian berdoa bersama dengan Allah ada siapa pun juga.” (al-Jin : 18). Ini menunjukkan bahwa tidak ada yang berhak menerima ibadah selain Allah, apakah malaikat, nabi, batu, jin dsb. Hanya Allah yang berhak menerima ibadah (lihat keterangan Syaikh Abdul Aziz ar-Rajihi hafizhahullah dalam Syarh al-Ushul ats-Tsalatsah, hal. 31)

Di dalam kalimat ‘iyyaaka na’budu’ yang setiap hari kita baca di dalam sholat terkandung penetapan tauhid uluhiyah itu. Artinya kita wajib menujukan segala bentuk ibadah kepada Allah semata, tidak kepada selain-Nya, dan tidak boleh mempersekutukan bersama Allah sesembahan lain dalam bentuk apa pun juga. Sehingga di dalam kalimat ‘iyyaka na’budu’ ini terkandung perealisasian kalimat tauhid laa ilaha illallah; yang berarti wajibnya kita mengesakan Allah dalam hal ibadah. Oleh sebab itu tidak boleh beribadah dan berdoa kepada selain Allah karena hal itu jelas bertentangan dengan kalimat ‘iyyaka na’budu’ yang setiap hari kita baca (lihat keterangan Syaikh Abdurrazzaq al-Badr hafizhahullah dalam Min Hidayati Suratil Fatihah, hal. 15)

Ibadah Harus Ikhlas

Diantara faidah paling berharga dari surat al-Fatihah adalah wajibnya kita mengikhlaskan dan memurnikan ibadah untuk Allah semata. Sebagaimana hal itu telah tertuang dalam kalimat yang berbunyi ‘iyyaaka na’budu’ yang artinya, “Hanya kepada-Mu kami beribadah.” Arti dari ayat ini adalah ‘kami mengkhususkan kepada-Mu semata ketaatan, dan tidak akan kami palingkan ibadah kepada selain-Mu’. Inilah yang disebut dengan ikhlas. Ikhlas merupakan syarat diterimanya amal setelah harus sesuai dengan tuntunan. Sebagaimana Allah firmankan (yang artinya), “Maka barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya hendaklah dia melakukan amal salih dan tidak mempersekutukan dalam beribadah kepada Rabbnya dengan sesuatu apapun.” (al-Kahfi : 110). Allah tidak menerima amalan kecuali yang ikhlas untuk-Nya. Dalam hadits qudsi Allah berfirman (yang artinya), “Aku Dzat yang paling tidak membutuhkan sekutu. Barangsiapa melakukan suatu amalan seraya mempersekutukan di dalamnya antara Aku dengan selain-Ku maka Aku tinggalkan dia dan syiriknya itu.” (HR. Muslim) (lihat keterangan Syaikh Abdurrazzaq al-Badr hafizhahullah dalam Min Hidayati Suratil Fatihah, hal. 17-18)

Allah berfirman (yang artinya), “Yang telah menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji kalian; siapakah diantara kalian yang terbaik amalnya.” (al-Mulk : 2). al-Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah menafsirkan, bahwa yang dimaksud dengan ‘yang terbaik amalnya’ adalah yang paling ikhlas dan paling benar. Ikhlas jika dilakukan karena Allah, sedangkan benar apabila berada di atas Sunnah/tuntunan nabi (lihat Tafsir al-Baghawi, hal. 1331)

Ibadah tidak layak diberikan kepada selain Allah. Apakah dia itu malaikat atau nabi. Ibadah itu hak Allah semata yang tiada boleh ada sekutu bagi-Nya. Barangsiapa beribadah -bersama dengan ibadahnya kepada Allah- dia juga menujukan ibadah kepada selain-Nya maka dia bukanlah orang yang ikhlas, dan Allah pun maha kaya serta tidak butuh terhadap dirinya. Orang yang melakukan perbuatan itu termasuk golongan kaum kafir. Meskipun yang dia ibadahi itu adalah manusia terbaik dan makhluk yang paling utama yaitu nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam maka dia menjadi kafir karenanya; lantas bagaimana lagi dengan orang yang beribadah kepada selain Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam?! (lihat keterangan Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah dalam Tafsir Surah al-Fatihah, hal. 61-62)

Tidaklah seorang insan menjadi hamba Allah yang sejati kecuali setelah dia mengikhlaskan ibadahnya untuk Allah semata dan berlepas diri dari peribadatan untuk selain-Nya. Allah berfirman (yang artinya), “Barangsiapa kufur kepada thaghut dan beriman kepada Allah sungguh dia telah berpegang-teguh dengan buhul tali yang sangat kuat.” (al-Baqarah : 256) (lihat keterangan Syaikh Abdullah bin Ibrahim al-Qar’awi hafizhahullah dalam Tafsir Surah al-Fatihah, hal. 18)

Kufur kepada thaghut -sesembahan selain Allah- dan beriman kepada Allah merupakan kandungan dari kalimat tauhid laa ilaha illallah. Oleh sebab itu setiap rasul menyerukan kepada umatnya (yang artinya), “Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut.” (an-Nahl : 36). Di dalam kalimat laa ilaha illallah terkandung penolakan ibadah kepada selain Allah dan penetapan bahwa ibadah hanya boleh ditujukan kepada Allah. Allah berfirman (yang artinya), “Sembahlah Allah dan janganlah kalian mempersekutukan dengan-Nya sesuatu apapun.” (an-Nisaa’ : 36) (lihat keterangan Syaikh Shalih al-Fauzan dalam Syarh Tafsir Kalimah at-Tauhid, Silsilah Syarh Rasa’il, hal. 145)

Sebagaimana sholat adalah ibadah yang tidak boleh dipersembahkan kepada rasul atau wali demikian pula doa adalah ibadah; ia hanya boleh ditujukan kepada Allah tidak kepada selain-Nya. Allah berfirman (yang artinya), “Katakanlah; Sesungguhnya aku hanya berdoa kepada Rabbku, dan aku tidak mempersekutukan dengan-Nya siapa pun juga.” (al-Jin : 20) (lihat Tafsir wa Bayan li A’zhami Suratin fil Qur’an, hal. 48 karya Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu rahimahullah)

Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata, “.. Beribadah kepada Allah dan meninggalkan ibadah kepada selain-Nya, inilah makna tauhid. Adapun beribadah kepada Allah tanpa meninggalkan ibadah kepada selain-Nya, ini bukanlah tauhid. Orang-orang musyrik beribadah kepada Allah, akan tetapi mereka juga beribadah kepada selain-Nya sehingga dengan sebab itulah mereka tergolong sebagai orang musyrik. Maka bukanlah yang terpenting itu adalah seorang beribadah kepada Allah, itu saja. Akan tetapi yang terpenting ialah beribadah kepada Allah dan meninggalkan ibadah kepada selain-Nya. Kalau tidak seperti itu maka dia tidak dikatakan sebagai hamba yang beribadah kepada Allah. Bahkan ia juga tidak menjadi seorang muwahhid/ahli tauhid. Orang yang melakukan sholat, puasa, dan haji tetapi dia tidak meninggalkan ibadah kepada selain Allah maka dia bukanlah muslim…” (lihat I’anatul Mustafid, Jilid 1 hal. 38-39)

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah berkata, “Apabila anda telah mengetahui bahwasanya Allah menciptakan anda untuk beribadah kepada-Nya, maka ketahuilah bahwasanya ibadah tidaklah disebut sebagai ibadah kecuali apabila bersama dengan tauhid. Sebagaimana halnya sholat tidak disebut sholat kecuali apabila bersama dengan thaharah/bersuci. Apabila syirik memasuki ibadah maka ia menjadi batal seperti halnya hadats yang menimpa pada thaharah.” (lihat matan al-Qawa’id al-Arba’ dalam Silsilah Syarh Rasa’il, hal. 331)

Syaikh Shalih bin Abdul Aziz alu Syaikh hafizhahullah berkata, “… Sesungguhnya ibadah tidaklah diterima tanpa tauhid. Hal itu diserupakan dengan thaharah/bersuci untuk mengerjakan sholat. Karena tauhid merupakan syarat diterimanya ibadah; yaitu ibadah harus ikhlas. Adapun thaharah adalah syarat sah sholat. Maka sebagaimana halnya tidak sah sholat tanpa thaharah/bersuci, maka demikian pula tidaklah sah ibadah siapa pun kecuali apabila dia termasuk orang yang bertauhid…” (lihat Syarh al-Qawa’id al-Arba’ oleh Syaikh Shalih alu Syaikh, hal. 8)

Syaikh Abdurrahman bin Nashir al-Barrak hafizhahullah berkata, “Apabila telah dimaklumi bahwasanya sholat yang tercampuri dengan hadats maka hal itu membatalkannya, demikian pula halnya ibadah yang tercampuri syirik maka itu juga akan merusaknya. Seperti halnya hadats yang mencampuri thaharah maka hal itu membatalkannya. Akan tetapi apabila syirik yang dilakukan itu termasuk syirik akbar maka ia membatalkan semua ibadah. Sebagaimana firman Allah ta’ala (yang artinya), “Sungguh jika kamu berbuat syirik pasti akan lenyap seluruh amalmu.” (az-Zumar : 65). Dan juga firman-Nya (yang artinya), “Seandainya mereka berbuat syirik niscaya lenyap seluruh amal yang pernah mereka kerjakan.” (al-An’am : 88). Adapun apabila ia tergolong syirik ashghar maka akibatnya adalah menghapuskan amal yang tercampuri dengan riya’ saja dan tidaklah menghapuskan amal-amal yang lain yang dikerjakan dengan ikhlas karena Allah.” (lihat Syarh al-Qawa’id al-Arba’ oleh Syaikh al-Barrak, hal. 11)

Syaikh Zaid bin Hadi al-Madkhali rahimahullah berkata, “Setiap amal yang dipersembahkan oleh orang tanpa dibarengi tauhid atau pelakunya terjerumus dalam syirik maka hal itu tidak ada harganya dan tidak memiliki nilai sama sekali untuk selamanya. Karena ibadah tidaklah disebut sebagai ibadah [yang benar] tanpa tauhid. Apabila tidak disertai tauhid, maka bagaimanapun seorang berusaha keras dalam melakukan sesuatu yang tampilannya adalah ibadah seperti bersedekah, memberikan pinjaman, dermawan, suka membantu, berbuat baik kepada orang dan lain sebagainya, padahal dia telah kehilangan tauhid dalam dirinya, maka orang semacam ini termasuk dalam kandungan firman Allah ‘azza wa jalla (yang artinya), “Kami teliti segala sesuatu yang telah mereka amalkan -di dunia- kemudian Kami jadikan ia laksana debu yang beterbangan.” (al-Furqan: 23).” (lihat Abraz al-Fawa’id min al-Arba’ al-Qawa’id, hal. 11)

Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Ikhlas adalah hakikat agama Islam. Karena islam itu adalah kepasrahan kepada Allah, bukan kepada selain-Nya. Barangsiapa yang tidak pasrah kepada Allah sesungguhnya dia telah bersikap sombong. Dan barangsiapa yang pasrah kepada Allah dan kepada selain-Nya maka dia telah berbuat syirik. Dan kedua-duanya, yaitu sombong dan syirik bertentangan dengan islam. Oleh sebab itu pokok ajaran islam adalah syahadat laa ilaha illallah; dan ia mengandung ibadah kepada Allah semata dan meninggalkan ibadah kepada selain-Nya. Itulah keislaman yang bersifat umum yang tidaklah diterima dari kaum yang pertama maupun kaum yang terakhir suatu agama selain agama itu. Sebagaimana firman Allah ta’ala (yang artinya), “Barangsiapa yang mencari selain Islam sebagai agama maka tidak akan diterima darinya, dan di akhirat dia pasti akan termasuk golongan orang-orang yang merugi.” (Ali ‘Imran: 85). Ini semua menegaskan kepada kita bahwasanya yang menjadi pokok agama sebenarnya adalah perkara-perkara batin yang berupa ilmu dan amalan hati, dan bahwasanya amal-amal lahiriyah tidak bermanfaat tanpanya.” (lihat Mawa’izh Syaikhil Islam Ibni Taimiyah, hal. 30)

Syaikh Zaid bin Hadi al-Madkhali rahimahullah berkata, “Patut dimengerti, sesungguhnya tidak ada seorang pun yang meninggalkan ibadah kepada Allah melainkan dia pasti memiliki kecondongan beribadah/menghamba kepada selain Allah. Mungkin orang itu tidak tampak memuja patung atau berhala. Tidak tampak memuja matahari dan bulan. Akan tetapi, dia menyembah hawa nafsu yang menjajah hatinya sehingga memalingkan dirinya dari beribadah kepada Allah.” (lihat Thariq al-Wushul ila Idhah ats-Tsalatsah al-Ushul, hal. 147)

Syaikh Abdullah bin Shalih al-‘Ubailan hafizhahullah mengatakan, “Ketahuilah, bahwa tauhid dan mengikuti hawa nafsu adalah dua hal yang bertentangan. Hawa nafsu itu adalah ‘berhala’, dan setiap hamba memiliki ‘berhala’ di dalam hatinya sesuai dengan kadar hawa nafsunya. Sesungguhnya Allah mengutus para rasul-Nya dalam rangka menghancurkan berhala dan supaya -manusia- beribadah kepada Allah semata yang tiada sekutu bagi-Nya. Bukanlah maksud Allah subhanahu adalah hancurnya berhala secara fisik sementara ‘berhala’ di dalam hati dibiarkan. Akan tetapi yang dimaksud ialah menghancurkannya mulai dari dalam hati, bahkan inilah yang paling pertama tercakup.” (lihat al-Ishbah fi Bayani Manhajis Salaf fit Tarbiyah wal Ishlah, hal. 41)


Artikel asli: https://www.al-mubarok.com/mutiara-faidah-surat-al-fatihah/